1. Bangunan/Rumah
Tempat Tinggal
a. Raja (Istana)
(i). Tipologi, Tata Letak
Satu diantara tiga istana yang
ada di Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu Istana Seruway merupakan istana yang masih
memegang kaidah arsitektur tradisional Tamiang. Hal ini tampak dari bentuknya
berupa rumah panggung dan sebagian besar material yang digunakan berasaldari
kayu. Sedangkan dua istana lainnya, yaitu Istana Banua raja danIstana Karang
termasuk dalam kategori bangunan Indis, ada pengaruh dari budaya luar yang
masuk ke Tamiang. Ketiga istana ini juga mempunyai tata letak yang menghadap ke
arah sungai (sungai Tamiang). Salah satu istana yang dekat dengan sungai
(Sungai Tamiang) adalah istana Seruway.
b. Masyarakat (Rumah Tempat Tinggal)
(i). Nama
Rumah tradisional Tamiang diberi
nama sesuai dengan jumlah tiang yang menjadi penopang rumah, yaitu rumah tiang
enam, tiang Sembilan,dan rumah tiang dua belas. Diantara ketiga jenis rumah
tersebut, rumah tiang dua belas termasuk rumah yang cukup besar.
(ii). Tipologi dan Tata Letak
Rumah tradisional Tamiang berbentuk rumah panggung
dengan kolong di bawahnya yang mana mempunyai ketinggian tiang penyangga lantai
setinggi 2-3 Meter. Hal ini terjadi karena pada masa lalu perkampungan
masyarakat Tamiang berada di pinggir hutan dan dekat dengan sungai atau pantai,
sehingga untuk menghindari binatang buas agar tidak masuk ke dalam rumah dan
terhindar dari banjir, maka rumah tradisional dibangun tinggi-tinggi dari
permukaan tanah.
Rumah rumah berada di pinggir sungai, maka rumah harus
menghadap kesungai karena adalah tabu bagi sub etnis Tamiang kalau bubungan
(atap)rumahnya melintang sungai, dan dapat juga diusahakan menghadap ke Barat,
sehingga bentuk perkampungan pada masyarakat Tamiang tampak seperti pada gambar
di bawah ini Rumah
panggung, bertiang empat persegi, banyaknya tiang rumah induk 6, 9 atau 12,
berbubungan panjang agak melengkung sedikitditengah, bubungan dapur terpisah
dan agak rendah sedikit. dari bubungan rumah induk tinggi rumah
induk sekerunjong (sepenjangkauan orang
dewasa) atau bertangga tujuh anak tangga (tengkah). Manju (serambi muka) dan
dapur tingginya sama, tetapi lebih rendah kira kira 30 cm dari rumah induk.
(iii). Struktur Bangunan
a. Bentuk Atap
Atap rumah Tamiang dibuat dari
beberapa bahan yaitu ada yangterbuat dari daun nipah, seng, dan ada yang
terbuat dari genteng.Sedangkan bentuk-bentuk atap pada rumah tradisional
Tamiang dapatdikelompokkan kedalam beberapa kelompok, yaitu:
- - Bubungan/Rabung Panjang/satu
Bentuk atap ini cukup sederhana
karena itu banyak dipakai untukrumah di Tamiang. Bidang atap terdiri dari dua
sisi yang bertemu padasatu garis pertemuan yang disebut bubungan . Bangunan
dengan rabungpanjang biasanya terdiri dari 6 tiang, 8 tiang, atau 9 tiang. Atap
terdapatpada dua belah sisi dengan satu bubungan/rabung . Dalam perkembangannya,
bentuk rabung ini dapat dibuat dengan beberapavariasi
- - Bubungan/Rabung Lima
Atap ini tersusun dari empat bidang atap, dua bidang
bertemu padasatu garis bubungan/rabung dan dua bidang bertemu pada
garisbubungan atas atau pada nook. Jika dilihat terdapat dua bidangtrapezium
dan dua bidang berbentuk segitiga.
- - Bubungan/Rabung Kombinasi (Pecah)
Bubungan kombinasi merupakan atap
terdiri dari lebih satu bentukatap, misalnya rabung lima dengan rabung panjang,
rabung lima denganrabung piramid. Variasi atap ini dibuat karena bangunan itu
lebih rumitdari bangunan dengan model atap panjang. Selain terdapat atap
induk,terdapat atap tambahan yang biasanya atap ini dipergunakan
untukteras/serambi atau dapur.
- - Bubungan Piramid
Jenis atap ini hampir mirip dengan jenis atap
rabung lima.Perbedaannya terletak pada sisi tiga hingga batas puncaknya. Pada
bagian puncak sisi-sisinya bertemu dan menyatu pada satu titik. Bentukatap ini
terdiri dari empat bidang yang sama bentuknya atau lebih.
Bentuk rabung piramid dapat kita
temui pada bagian depan darisalah satu ruang di Istana Seruway. Pada bagian
depan ini merupakanruang tamu, sedangkan pada bagian sisi kiri/kanan dan
belakangmenggunakan rabung lima yang merupakan kamar.
b. Tangga
Tangga adalah sarana bantu yang menghubungkan
dengan lantai diatasnya. Agar tangga mudah dan nyaman dilalui oleh
pengguna, pembuatan tangga perlu didasarkan pada beberapa pertimbangan sehingga
tangga menjadi aman dan nyaman bagi penggunanya. Pijakan anak tangga perlu
diperhitungkan agar bisa memberi kenyamanan bagi penggunanya. Biasanya tinggi
anak tangga yang paling nyaman antara15cm – 18cm, bila anak tangga terlalu
tinggi maka kaki akan terasa berat bila menaikinya. Lebarnya anak tangga harus
melebihi lebar telapak kaki orang dewasa, hal ini diperlukan supaya tangga aman
di gunakan untuk naik dan turun. Lebar minimal untuk anak tangga adalah 22cm jika lebar anak tangga 22cm dapat membuat orang jatuh terpeleset
atau tersandung dan ini sangat membahayakan penggunanya.
Pada rumah tempat tinggal di
masyarakat Tamiang yang dimaksud dengan tangga adalah sarana yang dipergunakan
naik dari tanah menuju rumah (bukan dari lantai 1 ke lantai 2) karena rumah
Tamiang berbentuk rumah panggung, maka diperlukan tangga untuk mencapai atas.
Pada umumnya tangga di sana dibuat dari bahan kayu dan sedikit sekali yang
dibuat dari cor/susunan batu bata.
Selain itu, pada umumnya tangga
naik ke rumah mengarah ke jalan umum, tetapi ada juga yang tidak mengarah ke
jalan, yaitu khususnya rumah yang berteras. Kiri dan kanan tangga diberi tangan
tangga. Tiang dan kepala tangga diberi hiasan. Anak tangga kebanyakan ganjil
sebab menurut kepercayaan, bilangan genap kurang baik artinya. Tangga depan selalu
berada di bawah atap dan terletak pada pintu serambi muka atau selang muka.
Tangga penghubung setiap ruangan terdiri dari satu atau tiga buah anak tangga.
Curam tangga sekitar 60 derajat, Jarang tegaklurus. Tiang tangga berbentuk segi
empat atau bulat.Pada kiri kanan tangga ada kalanya diberi tangan tangga yang
dipasang sejajar dengan tiang tangga, dan selalu diberi tiang hiasan berupa
kisi-kisi larik atau papan tembus. Menurut seorang informan, Madlan, mengatakan
bahwa jumlahanak tangga di rumah tradisional biasanya menurut bilangan
ganjil,misalnya 3, 5, 7, dan seterusnya. Bahkan menurutnya, jumlah anaktangga
ini menunjukkan simbol status sosial dari siempunya, semakinbanyak anak tangga,
maka makin tinggi status sosialnya.
(iv). Tata Ruang
Pada bagian sebelumnya disebutkan
bahwa rumah tidak sekedar sebuah bentuk bangunan tanpa makna, tetapi ia telah
menjadi wujud daribudaya suatu suku bangsa. Sebuah rumah sekaligus menjadi
tempatterjadinya interaksi dan sosialisasi anggota keluarga terhadap
budayamasyarakatnya. Menurut Waterson ruangan itu sebagai wujud dariaturan
penataan ruang rumah yang biasanya mengacu pada budaya aslimasyarakat
bersangkutan (Refisrul, 2010: 37). Secara umum tata ruangdiartikan sebagai
pengadaan ruangan-ruangan di dalam suatu bangunanoleh masyarakat, sedangkan
tata ruang diartikan sebagai cara mengaturruangan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1995: 858).
Dengan demikian,tata ruang rumah berhubungan dengan pola
penataan, pemanfaatan(fungsi), dan makna setiap ruangan suatu bangunan oleh
penghuninya.Konsep tata ruang itu sendiri mengandung pengertian konsep
penataanruang oleh suatu masyarakat tentang bangunan tempat tinggalnyakhususnya
bentuk atau penataan ruang yang baik dengan segalaaspeknya seperti fungsi dan
nilai budaya yang dikandungnya.
a. Istana
Sebagai sebuah tempat tinggal
raja, istana mempunyai tata ruang yang khas bila dibandingkan dengan rumah
biasa yang dihuni olehmasyarakat. Kekhasan istana ini biasanya ditandai oleh
jumlah ruang yang lebih banyak, tiang ruangan sudah fungsional dan diberi
sekatberupa tembok dari batu bata/kayu. Susunan ruang biasanya terbagimenjadi
tiga, yaitu ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.Ruang depan terdapat
kamar untuk menerima tamu dan kamar tempatraja beristirahat, kamar tengah
terdapat kamar tidur untuk anak-anakdan ruang makan, sedangkan ruang belakang
biasanya terdapat dapur.Selain itu, di dalam kompleks istana biasanya ada
bangunan lain yangberfungsi sebagai tempat tinggal pembantu raja, tempat
musyawarah, danbangunan untuk para penjaga istana.
b. Rumah Tinggal Masyarakat
Biasanya penataan ruang sebuah
rumah (tradisional) berlandaskanpada konsep asli masyarakat tersebut tentang
tempat tinggal yang baikdan budaya yang dianutnya sehari-hari. Seperti tampak
pada gambar tataruang rumah tradisional Tamiang, rumah tradisional Tamiang
dibagidalam beberapa bagian, yaitu kamar untuk tidur, ruang tamu, serambi/manju
, dan dapur. Pengaturan tata ruang mengacu pada adat/budaya yang berlaku di
daerah ini. Untuk itu, tata ruang rumah tradisional Tamiang ditata sedemikian
rupa dimana kamar dara (anak perempuan) terletak di depan kamar ayah dan ibu.
Sedangkan di samping atau sebelah kamar ayah dan ibu terletak kamar bujangan
(anak laki-laki). Halini menunjukkan bahwa peranan orang tua dalam mengawasi
anak-anaknya sangat menonjol. Bila orang tua tidak ada di rumah disediakan
manju untuk tempat tamu menunggu bagi
laki-laki yang berada diserambi muka dan serambi belakang bagi tamu perempuan.
Serambi muka dan serambi belakang ini tidak berdinding penuh. Biasanya
hanya sebatas bahu orang dewasa.
2. Rumah Ibadah
Sebagian besar masyarakat Tamiang
adalah pemeluk agama Islam.Dalam menjalankan ibadahnya, mereka membutuhkan
tempat yangrepresentatif. Untuk itu rumah ibadah mereka adalah rumah
ibadahislam, yaitu Surau/ Langgar atau Mesjid
Tempat ibadah yang dipakai oleh
umat muslim di Tamiang diberi nama surau/langgar dan mesjid. Adapun perbedaan
di antara keduanya adalah pada ukuran dan cakupan dari jamaahnya. Kalau
langgar/suraubiasanya ukurannya lebih kecil dan jamaahnya berasal dalam satu lingkungan/dusun,
sedangkan mesjid biasanya mempunyai ukuran yang lebih luas dan jamaah lebih
banyak/satu desa serta seringkali diadakan shalat Jumat. Surau/langgar dan
masjid merupakan dua tempat ibadah Islam yang banyak terdapat di Tamiang. Ada
beberapa langgar dan masjid yangdibuat dengan arsitektur tradisional, tetapi
ada pula dibuat denganmempergunakan arsitektur yang berasal dari luar Tamiang.
Namun berdasarkan pengamatan,
sebagian besar langgar dan masjid dibuat dengan aristektur tradisional.Seperti
halnya tipologi bangunan lain, langgar dan masjid memiliki tipologi bentuk
bujur sangkar atau persegi panjang. Ada bangunan pokok yang menjadi induk dan
ada bangunan tambahan, misalnya serambi atau teras. Yang mempergunakan serambi
ini biasanya bangunan yang lebih besar atau karena umatnya sudah berkembang
lebih banyak sedangkan tempat itu tidak dapat menampung lagi.
3. Rumah Tempat
Musyawarah
Sebuah keniscayaan bahwa hubungan
di antara manusia tidak ada masalah. Namun setiap masalah pun harus dipecahkan agar
kehidupan yang harmonis dapat tercapai. Bagi masyarakat Tamiang masalah
dipecahkan secara bersama dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Tempat
musyawarah biasanya tidak pada suatu tempat tertentu tetap imusyawarah ini
dilaksanakan di dalam Mesjid, Langgar ataupun Surau. Jadi Mesjid sekaligus
berfungsi sebagai tempat sembahyang, melaksanakan peringatan hari-hari besar
Islam dan tempat Musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi, pada kehidupan kerajaan
terdapat sebuah tempat dijadikan sebagai tempat musyawarah. Misalnya di Istana
BanuaRaja terdapat tempat yang dijadikan sebagai tempat musyawarah, yang
terletak di samping istana.
4. Rumah/Tempat
Menyimpan
Masyarakat Tamiang tidak mengenal rumah untuk menyimpansuatu,
misalnya padi. Tempat untuk menyimpan padi hanyalah sebuahtempat berbentuk
empat persegi atau lingkaran/silinder. Bahan yangdibuat untuk penyimpanan padi
ini adalah kayu yang dijalin. Tempat ini biasanya disebut dengan kotak
padi/lumbungpadi/Kepok. Mereka meletakkannya di depan/belakang rumah. Agar
tidak terkena hujan biasanya di bagian atas dibuatkan atap. Saat ini tempat
penyimpanan padi sudah jarang diketemukan. Mereka tidak lagimenyimpannya di
lumbung, tetapi disimpan ke dalam karung-karung.
Cara Membangun Rumah dan Adat
1. Musyawarah
Pembangunan bangunan adat pada
masyarakat Tamiang dilakukanmelalui dengan musyawarah diantara orang ”tua”
kampung, orang”pintar”/alim, pemilik rumah/keluarganya, dan anggota
masyarakatlainnya. Berbagai masalah dibicarakan pada musyawarah tersebut.
Salahsatunya, masalah lokasi dan gotong royong untuk melaksanakanpembangunan.
Hasil musyawarah ini dipakai untuk dasar pelaksanaan.Setelah itu, mereka
melakukan kunjungan ke tempat yang memenuhisyarat-syarat yang telah ditetapkan.
Sebelum dibangun lokasi tersebut Sebagai perbandingan, kita dapat melihatnya
juga pada suku Melayu yang ada di Sumatera Utara.Tamiang adalah termasuk dalam
kelompok suku Melayu.
Akan tetapi, ada perbedaan dalam penyimpanansuatu
khususnya padi. Rumah tempat menyimpan tidak ada pada suku Melayu. Yang ada
hanyalah Lumbung padi dan lumbung inipun terdapat pada setiap rumah. Letaknya
tepat berada di bawah kolong tempat tidur siempunya rumah.Sedangkan pintunya
juga tidak berada di luar, tetapi pintu masuk ke dalam Lumbung iniadalah dari
atas atau ruang tidur si empunya rumah. Hal ini berdasarkan anggapan orang
dahulu bahwasannyaharta yang paling bernilai adalah padi, sebagai bahan
makanan. Oleh karena itu padi ini harus dijaga dengansebaik-baiknya juga harus sesuai dengan petunjuk orang
”pintar”/alim.
2. Mendirikan
Bangunan (Nirike Rumah )
Upacara yang dilaksanakan dalam
waktu sedang mendirikan bangunan adalah upacara tepung tawar tiang raja dan
tiang putri (yang terletak di bagian tengah), yang dilakukan dengan bergotong royong
Upacara ini bertujuan agar selama mendirikan rumah tidak terjadi kesulitan dan
halangan, baik bagi para pekerjanya maupun bagi pihak yang empunya hajat tersebut. Di samping itu
upacara ini juga bertujuan agar rumah yang dibuat itu serasi dan dapat memberi
ketenangan serta berkah bagi penghuninya. Tempat melaksanakan tepung-tawar
tiang raja dan tiang putri iniadalah pada lokasi tapak rumah. Sewaktu
mendirikan tiang raja dan tiangputri dilaksanakan pada pagi hari. Upacara ini
diselenggarakan oleh yangempunya hajat dan dihadiri oleh para. tukang, jiran
(tetangga), sanakkeluarga, orang-orang tua dan orang alim/orang “pintar”. Dalam
upacara ini si pemilik rumah terlebih dahulu menyediakan setandan pisang
emas,sebiji kelapa tumbuh, sebiji buah kundur dan ikatan ramuan dedaunan tepung
tawar, air, dan tebu. Selain itu juga tidak lupa harus disediakan pula kain
yang berwarna putih, merah, kuning, hitam.
Setelah bahan tersedia, maka
upacara dapat dilaksanakan. Pertama, setiap ujung tiang rumah disalungkan ambul
tiang , yang terdiridari tiga lapis kain, yaitu kain merah, kain putih, dan
kain hitam. Kain merah berarti keberanian, dan kehidupan, kain putih berarti
kebersihan,dan kain hitam berarti tenaga gaib. Dengan demikian keseluruhan
kainitu berarti bahwa tiang-tiang sebagai penegak dan pendukung rumah telah
diberkati dengan kekuatan gaib untuk kehidupan dan kebersihan dari penghuninya.
Kedua, pada saat mulai mendirikan rumah ini, oleh orang-orang tua didahului
dengan menepungtawari tiang raja dan tiangputri lalu dibacakan doa. Untuk mendapatkan
berkah yang baik dalam mendirikan tiang raja dilaksanakan oleh si suami dan
tiang putri oleh si istri. Kemudian, barulah didirikan tiang-tiang lainnya. Di
puncak tiang diikatkan setandan pisang emas, sebiji kelapa tumbuh, sebiji buah
kundur dan ikatan ramuan dedaunan tepung tawar, air, dan tebu. Benda ini tetap
berada di atas sampai rumah itu selesai.
Pekerjaan mendirikan rumah ini
pada hari pertama setelah selesai tepung, tawar dan makan bersama, sifatnya
adalah bergotong royong.Seandainya ada di antara para peserta memiliki
pekerjaan lainnya yanglebih penting maka dapat meninggalkan gotong royong ini
setelah terlebih dahulu memberitahukan kepada pemilik rumah. Namun di antara
para peserta masih tetap berada di tempat sampai sore membantu mendirikantiang
dan merangkainya dengan kayu-kayu lainnya. Tentu saja pekerjaan membuat rumah
belum selesai hanya dalam satu hari saja. Pada keesokan harinya pekerjaan
mendirikan rumah itu diteruskan dan sifatnya tidak gotong royong lagi tetapi
sudah diupahkan pada tukang pembuat rumah.
Perlu dijelaskan disini bahwa
pengertian dari pada setandan pisang emas adalah bahagia, cukup dan tidak
kekurangan. Sebiji kelapa tumbuh berarti pertumbuhan dan kehidupan yang
sempurna. Sebiji buah kundur berarti sejahtera dan tentram bagi penghuninya.
Ikatan tepung tawar berarti seruan atau doa atas kesempurnaan kehidupan di
rumah tersebut.
3. Memasuki Rumah
Baru (Naek Rumah Baru)
Sebelum pindah untuk mendiami
rumah baru, maka pada suatumalam si pemilik rumah haruslah terlebih dahulu
menghantarkan kerumah tersebut selabu air sejuk, garam, beras sekedarnya, dan
sapu. Halini dilakukan rumah tersebut terasa sejuk bagi penghuninya. Demikian
pula dengan keluarga yang mengunjungi rumah baru tersebut harus membawa selabu air sejuk. keesokan harinya diadakanlah
upacara menepung tawar rumah (Nyejok )/kenduri sekaligus menaiki rumah baru dan
minta izin kepadatukang rumah agar “Rumah Siap, Talu Tidak Bersuara (Jangan
sampai ada upat puji dikemudian hari)”.
Upacara ini bertujuan agar
penghunirumah peroleh berkah dan ketenangan. Di samping itu merupakan
pemberitahuan kepada keluarga di kampung tersebut bahwa sejak hari itu rumah
tersebut telah didiami. Tempat melaksanakan upacara adalah di rumah baru
tersebut. Waktu yang dipakai sebaiknya adalah di pagi hari, sewaktu matahari
terbit sampai sebelum matahari tergelincir ke arah barat. Dengan demikian
diartikan agar berkah dan rezeki naik. Upacara ini diselenggarakan oleh pemilik
rumah. dan dihadiri oleh seluruh anggota keluarga terdekat, jiran, orang-orang
terkemuka di kampung itu.Pemimpin upacara dapat ditunjuk orang tua yang biasa
memimpin upacara ini ataupun Ustaz/alim.
Alat-alat yang perlu disediakan
dalam upacara ini adalah beras secukupnya, setandan pisang emas, sebutir telur
dan seperangkat perlengkapan tepung tawar. Upacara ini dimulai sejak pemilik
rumah menjejakkan kakinya di tangga rumah sampai seluruh keluarga berada dalam
ruangan rumah. Setelah acara upacara tepung tawar/doa, maka dilanjutkan dengan
kenduri.